Katanya, Indonesia itu negara yang sangat fleksibel. Jenis-jenis orangnya pun, bisa dibedakan dengan gampang. Lihat dari cara mereka mengartikan kata ‘atur’.
Antara “ikut aturan” atau “bisa diatur”.
Segampang itu.
–
Ketidatahumaluan gue seringkali berakhir pada sesuatu yang lumayan menarik. Contohnya seperti kemarin malam. Jam sembilan gue naik taksi Blue Bird dari Cipaganti, dan sepanjang perjalanan gue nyapa-nyapa ga jelas gitu, tapi ternyata supirnya ramah juga sih. Dan kita nyambung. Tidak dalam konteks romantis tentunya. Aih.
Pak Maimun, sang supir, curhat mengenai kedigdayaan pemerintah, yang berbanding terbalik dengan ketidakberdayaan rakyat. Beliau bercerita bahwa dahulu ia bekerja di Jakarta dengan profesi yang sama, namun perusahaannya bangkrut dan ia harus pindah ke Bandung dua tahun lalu. Ia senang bekerja di Blue Bird, namun mengeluh akan aturannya. “Masalah aturan, perusahaan ini memang super ketat”, tambahnya. Pergi mobil harus mulus, pulang pun tetap dalam kondisi yang sama. Baret sedikit, supir yang nanggung. Walaupun bukan salah sang supir. Segel di dasbor, radio dan GPS pun harus senantiasa terjaga. Kalau segel hilang, siap juga hilang pekerjaan. Bahkan gilanya, Blue Bird pun punya karyawan khusus yang bertugas mengawasi tiap supir taksi secara acak. Memakai motor. Di perempatan, karyawan tersebut akan tiba-tiba membuka pintu mobil dan kalau tidak terkunci, sanksi untuk supir menanti. Argo, posisi taksi pun dikontrol penuh lewat GPS.
Aturan memang ketat, tapi supir bisa merasa aman.
Nah, beberapa minggu sebelumnya, gue juga sempat ngobrol (dengan ketidaktahumaluan yang sama) sama seorang pengemudi becak (kenapa nggak supir? Soalnya aneh kedengerannya). Pak Suhadi namanya. Waktu itu pukul setengah sepuluh malam, dan gue males jalan ke BIP buat nyari angkot. Dan aneh aja gitu ya, ada satu becak nongkrong di dekat perempatan Riau selarut itu. Tanya kenapa. Dan selama perjalanan, gue jadi tahu alasannya pas beliau cerita.
Ternyata, setiap malam di daerah situ selalu ada ‘tamu’ yang datang mencari ‘wanita’, dan supir becak ini bertugas ‘mengantarkan’ bagi yang mau. Lumayan loh, katanya. ‘Jasa’ satu ‘wanita’ bisa dihargai 500 ribu permalam, dan komisinya bisa 10%. Tapi walaupun begitu, menurut beliau, dia tidak ‘mengantar’ pada ‘wanita’ sembarangan, bukan yang di jalanan. “Harus bisa menjamin keselamatan dan kepuasan kedua belah pihak dong”, ujarnya.
Dan gue tidak menyarankan anda-anda yang baca buat ke Riau mencari Pak Suhadi yah -_-”
–
Gue sama sekali nggak membuat pembenaran pada kepatuhan Pak Maimun yang ‘manut’ aja walaupun peraturannya agak berlebihan. Atau kebandelan Pak Suhadi yang sebenarnya bukan sesuatu yang benar untuk dilakukan. Mungkin mereka harus, untuk menghidupi keluarga, berkompromi dengan sistem, dengan cara mereka sendiri.
Yang satu patuh pada aturan, yang lain melanggar norma. Tapi semuanya masih terlihat wajar. Dan mungkin memang inilah cara masyarakat bekerja sebagai sebuah sistem. Toleransikah alasannya? Atau diantara kita sama sekali tidak ada yang peduli?
Entah.
Bukan, ini bukan Pak Suhadi.