Obrolan Dengan Salita Romarin

Minggu kemaren, gue gak sengaja ngobrol sama Salita. Alumni SMAN 3 ’09, dan sekarang kuliah di Hubungan Internasional Unpar. Dan ternyata oh ternyata, kita sebenernya udah kenal lama karena dulu dia ngebingklasin gue pas ospek SMP.

Itu tidaklah penting. Yang menarik perhatian gue adalah dia anak HI. Gue dulu pengen masuk HI. Dan dia, dalam obrolan yang bakalan gue ceritain ini, menceritakan gimana asiknya kuliah HI.

Heeeeeemm.

Dia bilang, sebenernya dulu dia nggak pengen-pengen amat kuliah HI. Dan selama kuliah pun, dia belajar gak sampe menggebu-gebu. Tapi lama kelamaan dia jadi tertarik. Banyak hal-hal menarik yang terbuka seiring waktu, katanya.

“Aku sempet belajar tentang teori psikologi. Contohnya doktrinasi. Ternyata buat ngedoktrin orang gak bisa sembarangan. Ada skala brainwave dalam kesadaran manusia, dan untuk dipengaruhin, brainwave-nya harus di bawah 7. Gimana caranya? Kondisi ini bisa dicapai dalam dua syarat. Pertama, emosinya lagi tinggi banget. Misalnya nih, pas lagi nonton sinetron kan suka nangis tuh, emosi meluap, pas jeda langsung dihajar iklan, sabun cuci lah. Sadar atau enggak, iklan sabun cuci itu udah masuk alam bawah sadar kita. Makanya iklan pas jam sinetron, prime time, suka mahal. Ditambah lagi iklannya ada tiap hari. Efektiflah kita buat beli produk itu secara gak sadar.

Syarat kedua, dengan cara hipnotis. Posisi semi tidur, ngantuk tapi gak ngantuk, juga momen yang bagus buat ngasih doktrin. Oh iya, umur 0-12 tahun juga brainwave kita konstan di bawah 7, kita gak ngelakuin filtrasi apa-apa terhadap informasi yang masuk. Makanya yang namanya pamali, misalnya “Jangan duduk depan pintu, seret jodoh!”, terus keinget sampe tua walaupun gak logis karena ditanemin dari kecil. Nah, ngeliat gini, kuat banget kan pengaruh media di sekitar kita? Kalau mau nguasain dunia, kuasain media.”

“Terus dalam salah satu kuliah ekonomi, aku baru tahu produk Made in China itu kualitas 3. Nah, ternyata kualitas 1 itu yang punya Indonesia! Eh, kok bisa ya? Papa aku juga pas beli sepatu Nike di toko ritel di AS, ternyata buatan sini loh. Dan sepatu ini juga yang dipake atlet-atlet top. Kalau mau nyari di Cibaduyut, bagus-bagus tuh. Cuma belum ada label Nike doang, padahal kualitas mah sama. Katanya sih, di Indonesia labor cost murah tapi kualitas produk bagus. Tapi ini nggak banyak yang tahu. Sayang banget dengan tingkat manufacturing segini, kesejahteraan buruh kita masih jelek. Padahal menurut ILO kerja seminggu tuh paling pol 8 jam x 5 hari. 40 jam, selebihnya lembur. Di pabrik juga, lampu banyak tapi sama sekali gak ada pendingin.”

Dan itu adalah dua jam paling serius tapi santai yang pernah gue dapet. Agak menyesal rasanya bahwa dulu gue pernah pengen kuliah HI tapi pelan-pelan terkubur diam-diam.

Lagi, Salita bilang..

“Yah sebenernya kuliah dimanapun, asal kamu tahu apa yang kamu mau. Sekarang ini orang banyak mikirnya “Mau kuliah dimana?” bukannya “Nanti mau kerja apa?”. Jadilah universitasnya yang dikejar, bukan jurusannya.”

Gue diem.

Balada Buku Tahunan

#1
Adi:
Eh, tadi foto si A udah sama aing.
Ilman: Hah, enggak, dia jadinya sama aing!
Adi: Enak aja, dia maunya sama aing!
Wowo: KALIAN TUH NGOMONGIN APAAN SIH?!

#2
Muklis:
Bang, bubur ayamnya ada?
Tukang Bubur: Ada, berapa?
Muklis: Satu, tapi gak pake ayam.
Tukang Bubur: Hah, jadinya?
Muklis: Bubur.

(Muklis adalah vegetarian)

#3
Ilman:
(lagi asik baca)
Hilda: Hmm, baca apaan tuh, Man? “How To Be A Man” ya? HAHA
Ilman: (diem)

#4
Adi, Sobe, Ilman:
(tiduran di kasur)
Wowo: Ih, kalian udah mulai gay.
Adi: Iya, mestinya gue semen pantat dulu.
Wowo: Awas Di, entar lo kentut bunyinya bukan ‘pret’ lagi, tapi ‘poh’.

#5
Hilda:
Eh, ambilin bantal yang itu dong.
Semua: (diem)
Hilda: Vin, ambilin bantal yang itu.
Alvin: (ngambilin bantal)
Hilda: Wah, Vin, yu arr mai fren.

#6
Sobe:
(ngeliat gambaran Adly) Wow… tangan maneh sehat, Dly?
Adly: Alhamdulillah, masih 2.

Jangan Kasih Nama dari “A”

Entah udah berapa banyak masalah yang gue dapet karena nama gue.

Agh-ni-a-di. 

Biasanya banyak variasi buat manggilnya, mulai dari Agh (kayak orang nafsu), Aghen (kayak orang ngeden), Nia (nama kalau mangkal), atau Di (nanya tempat). Bahkan waktu itu pernah pas lagi speech workshop, native speaker-nya nyebut nama gue kayak

“AGH… AGH.. UGH… AGEUHINYADI?!”

Buseeet. Ngucapin nama gue berasa orgasme gitu.

Penulisannya pun gak tahu kenapa bisa jadi macem-macem. Dari mulai Agniadi (hilang satu huruf), Aghaniadi (nambah satu huruf), sampe Ahmadi (anggota sekte agama).

Tapi yang paling pedih, pas waktu itu lagi ada kunjungan ke panti asuhan. Nggak ada hujan nggak ada angin, tiba-tiba DUK! ada anak nyundul selangkangan gue. Ah hancurlah masa depan awak. Terus yang punya panti bilang “Eh, gak boleh itu Nak, kasian Oom-nya!”.

Lebih sakit dikatain Oom daripada disundulnya, sumpah.

Nah itu belum seberapa. Masalah utama sebenernya ada di absen dan telepon.

Sodara-sodara, saya tidak menyarankan anak anda diberi nama dari huruf A. Karena sedari kecil, anak anda akan merasakan ketidakadilan serta kejamnya dunia pendidikan kita. Entah kenapa nama Aghniadi selalu ada dalam Top 3 absen kelas dari tahun ke tahun. Cuma kalah dari Abeng, Abun dan Aceng.

Sayangnya, survey membuktikan Abeng, Abun dan Aceng terkonsentrasi di daerah Glodok dan Mangga Dua, bukan di Bandung. Alhasil setiap tahun ajaran baru gue harap ada murid bernama Aab yang masuk, yang mana gue denger pun gak pernah.

Gak berhenti sampai disitu, sama seperti absen, nama Aghniadi juga ada di contact list atas dari hampir semua hape temen gue. Yang ada pasti hapenya disakuin, lupa dikunci, terus kedudukin, dan PANTATNYA NELEPON GUE.

Adalah mudah untuk pantat nelepon gue, cuma tekan shortcut, terus tombol ijo. 2 kali tekan saja, sodara-sodara. Praktis.

Yang lebih gaul lagi, kadang pantatnya bisa SMS. Kosong lagi. Sekarang inbox gue full tanpa ada yang gue jawab. Ngapain SMS-an sama pantat.

Pesan moralnya, berilah nama anak anda dengan penuh perhitungan. Nggak ada gunanya muka ganteng, lulus cum laude, punya mobil Jaguar dan aktor film ternama kalau namanya Peni S. Jangan pula kasih nama Herniawati.

Sekali lagi, saya mohon maaf jika ada pembaca yang namanya Peni S. atau Herniawati.

Tentang ‘Suka’, ‘Rela’, dan Melakukan Keduanya

Gue ingat rasanya jadi SD. Mimpi ini, dimana lo menjadi pahlawan super dan bisa menolong orang banyak dengan kekuatan lo. Entah itu kucing yang nyangkut di pohon atau ibu yang ditodong orang jahat. Elo bisa terbang, dengan imajinasi mengawang, dan ratusan kilometer jauhnya masa depan elo terbentang. Elo bisa melakukan apapun. Tentu aja, hal mustahil pun mungkin buat jadi mimpi anak sekecil itu.

Dan saat imajinasi itu mulai pudar dan masa depan lo sudah mulai terdiktekan, perlahan lo mulai dewasa. Hidup mulai menjadi sempit. Elo mulai sadar lo nggak punya otot kawat dan tulang baja, apalagi buat terbang. Nggak mungkin pula punya cukup kekuatan buat mengubah yang salah. Elo berhenti berharap.

Walaupun, mimpi itu pudar lebih cepat dari yang gue sangka, gue masih bernapas padanya. Mungkin itu satu-satunya jejak. Menyukai sesuatu, bermimpi untuk menjalaninya terkadang bukan yang akan kita dapatkan nantinya. Mungkin lambat laun kita harus rela menukar semua mimpi yang pernah terbayang dengan sesuatu yang normal, pasti, sepasti kedewasaan semua orang. Kita bekerja, dan menjadi bagian dari sebuah masyarakat kecil yang mimpinya terabaikan.

Kita kehilangan kekuatan, untuk bermimpi.

Untuk menjadi dewasa sesuai dengan mimpi kita, hampir-hampir mimpi di siang bolong. Alih-alih ‘rela’ dan mulai memikirkan sekitar, untuk mencoba ‘suka’ tanpa mengeluh pun terkadang sulit. Ya?

Lalu apa yang harus kita lakukan? Sesuai pepatah, kita nggak bisa menghentikan ombak, tapi kita juga bisa belajar untuk berselancar. Jutaan orang di Indonesia pasti pernah berpikir untuk mengubah negeri ini, tapi berapa banyak yang memulai? Nurani kita pasti seringkali terketuk untuk membantu, sampai pertanyaan “Tapi apa yang bisa saya lakukan?” membatu.

Apakah alasannya kita tidak mempunyai cukup harta, atau lebihnya? Atau sama sekali tak ada waktu, maupun tenaga di tengah rutinitas yang padat? Mungkin, yang kita tidak punya, adalah sesederhana kemauan.

Maafkan kalau gue skeptis, tapi kita udah nggak bisa tergantung lagi pada yang berwenang. Mungkin yang di sana sudah terlampau sibuk mengurus urusan negara (?), dan kita udah nggak bisa menunggu. Nggak akan ada habisnya kalau mau membahas kejelekan yang kita punya. Walaupun lebih banyak berita menyedihkan dan mengecewakan di media massa, kalau mau jujur, kita masih punya banyak aset. Kita masih punya masyarakat yang membantu dengan caranya masing-masing, kita masih punya anak muda dengan semangat yang menggebu-gebu, bahkan banyak yang tak bermodalkan imbalan. Sedikit, dan sporadis, tapi berefek besar.

Ada yang bilang, orang Indonesia itu idenya banyak, tapi ngeluhnya lebih banyak. Lebih banyak orang berdemo daripada menulis buku kan? Padahal, tanpa hal bombastis pun, dengan perlahan namun pasti, sudah cukup kok untuk mengubah negeri ini. Tak perlu menaruh label angka. Apapun pekerjaan kita, kita bisa membantu dengan hal kecil yang kita bisa. Dengan memulai. Dengan mengajak. Dengan memberi kembali.

Mungkin masih lama sampai semuanya tercapai. Namun saat itu, mungkin saja, kita mulai bisa menghargai yang ada.

Berada di sini, saat ini, memiliki dan melakukan apa yang kita cintai.

 

 

(written on minutes to midnight, after inspiring lectures about volunteering by Kak Ardhana Riswarie and Kak Titis Andari)

 

Seramat Paggi, Seraru Seramat!

Seminggu yang lalu, Jepang mengalami gempa berskala 8.9 richter. Disusul tsunami yang menghantam daerah utara.

Gue pernah ada disana, dan sedikit banyak tempat itu mengubah gue. Tempat orang-orang yang gue anggap keluarga, yang membuat gue merasa memiliki rumah kedua. Walaupun tanpa bahasa yang sama, mereka mengajari gue makna keramahan dan kebaikan yang tulus.

Okaasan, gue, Oniisan dan Otoosan

Keluarga Yoshida termasuk keluarga sederhana. Tinggal di Asahikawa, Pulau Hokkaido, dimana masih banyak sawah di pinggir jalan. Sang ayah, Shigeo adalah guru di sebuah sekolah luar biasa. Di rumahnya banyak sekali terpampang foto-fotonya bersama murid-muridnya. Sang ibu, Eiko, adalah ibu rumah tangga. Sedangkan sang anak, Kunio, bekerja di sebuah rumah sakit sebagai perawat.

Mulia sekali, kan?

Pak Shigeo, bisa dibilang, adalah orang yang sangat baik, namun seringkali canggung dalam mengungkapkannya. Lebih sering terlihat seperti tentara dibandingkan guru. Namun beliau selalu semangat mengajari gue berbagai macam hal baru, dari nulis kanji sampai makan natto.

Bu Eiko, figur ibu sebenar-benarnya. Sangat ramah, sangat pintar memasak, Shin Men kalah dah. Beliau bahkan nggak segan untuk selalu membuka kamus saat bercengkrama dengan gue. Paling riweuh ngingetin gue buat salat haha

Kunio, yang terdekat jika dilihat dari umur. Dia seringkali nunjukin gue koleksi filmnya, ternyata dia penggemar Audrey Hepburn dan Didier Drogba. Dari dialah gue belajar seberapa sederhana dan uletnya pribadi orang Jepang itu. Kami sering ngobrol sampai larut malam. Rajin ngucapin “Seramat paggi!” setiap hari 😀

Kini, gue nggak tahu gimana kabarnya mereka. Menurut teman gue yang tinggal di sekitar sana, beberapa tempat di Asahikawa blackout, dan masih banjir setinggi betis.

Gue rindu ucapan “Seramat paggi!” dari mereka setahun yang lalu. Semoga semuanya cepat pulih. Amin.

Dan Tidak Ada Angpao Nyasar

Kebetulan.

Ini adalah cerita tanpa tujuan, jadi, lewatkan saja daripada ini menghabiskan waktu anda.

Hal-hal acak yang terjadi hari ini:

#1 Pagi ini mestinya ada jadwal buat tambahan biologi, tapi gue telat bangun. Akhirnya harus nyusul ke Inten Reog, tapi karena nyasar di Buah Batu, jadinya gue balik lagi.

#2 Semua orang di rumah nyantai hari ini. Dan Ibu ngebuatin sarapan dengan menu paling mantap 2011, Indomie digoreng (langsung dari bungkusnya) terus ditabur bumbu plus mantao goreng. Makan mi pas lagi maag aja udah dosa, ini pake digoreng lagi. Tapi enak

#3 Papasan sama Yusi, Nanad, Tissa di Jalan Kalimantan. Tapi dikunci dan gak bisa keluar. Solusinya? Manjat pager, terus gue mejret ketimpa pantat Tissa. Enggak ding, lebih parah malah.

#4 Lupa ikut ritual tahunan ‘nyapu-kuburan-cina’. Lumayan dah padahal profitnya, pulang-pulang bisa bawa gocap.

#5 Minus Nanad, kita cabut ke The Movie Rooms. Lalu Tissa, Yusi dan teman gay-nya (yang mana adalah gue) mulai memilih chick-flick(s). Disini gak sengaja gue ketemu Ardy dan Vetra. Yang mana menegaskan sebuah mitos,

“Bahwa gue, setiap pergi kemanapun, pasti selalu suka ketemu orang yang dikenal, karena: 1) Gue suka sok-sok kenal ke orang, 2) Orang salah ngira karena muka gue pasaran”

#5 Yusi dan teman gay-nya (masih gue) lalu cabut ke Potluck buat belajar. Aih, gaya. Mulai ambil buku, terus gak sengaja ketemu Astari yang mau belajar juga. Terus ketemu Kak Aidil (mitosnya mulai terbukti)

#6 Dan akhir-akhir ini, gue sama Yusi sedang mempertanyakan kenapa kita gak punya cute nickname. Dan kenapa kita jarang banget foto bareng di hape. Dan kenapa kita berlaku kasual. Terus gue ngambil fortune cookie gitu dan tulisannya:

“Sometimes, the best way to stay to someone you love is by being just friend.”

Err. Gimana ya.

#7 Tempat terakhir, ke Bakmi Jogja. Disini gue bilang, kalau sampe ketemu orang yang gue kenal satu lagi, gue traktir. Tahunya bener aja ketemu Dina sama keluarganya.

Dan begitulah Hari Imlek berlalu. Tanpa angpao dan bau-baunya sekalipun.