“Satu hal yang menarik saat saya mengajarkan tentang sin cos tangen pada mereka, mereka bertanya apa gunanya? Mereka tidak mau mempelajari suatu hal saat mereka sadar tidak berguna untuk kehidupan mereka. Berbeda sekali dengan saat saya sekolah, saya bahkan tidak bertanya apa gunanya pelajaran tertentu untuk saya.”

Butet Manurung – Guru Sokola Rimba, dalam IndonesiaMUN Keynote Speech

Ngabuburit Nunggu Sahur

Waktu nunjukin pukul 17.30. Matahari mulai terbenam, gue bareng temen-temen dan puluhan yatim piatu Panti Asuhan Khoerunnisa menunggu berbuka. Diantara momen itu, kita mulai berbagi.

Satu anak maju. Anggap aja namanya Budi. Budi kelas 5 SD, dan cita-citanya jadi polisi. Lalu bergantian yang lain maju, calon-calon dokter, guru dan ilmuwan. Mereka masih hijau, kesempatan mereka masih luas, masa depan mereka belum terdoktrin (berasa tua).

Gue seneng banget denger semua mimpi mereka. Cuma, buat gue sendiri, gue udah lupa rasanya punya sesuatu yang diidam-idamkan.

Makin kesini, kita jadi makin realistis (atau makin penakut?). Kita enggak lagi mempertanyakan banyak hal, kita lebih banyak menerima. Gue pernah mau jadi duta besar, dan masuk HI tentunya. Gue juga pernah overwhelmed pada seni, dan pengen masuk FSRD. Tapi saat maksud itu berbenturan dengan banyak kepentingan, kita dipaksa memilih. Gue sadar bakat gue cuma tersisa di mikir, ngomong dan gambar. Gue gak suka ngitung. Walaupun akhirnya pilihan gue dan pilihan Yang Di Atas berhimpit di ITB. Sekolah Bisnis & Manajemen.

Atau cerita temen gue, Sobe. Sobe ngebet banget pengen masuk Fakultas Kedokteran. Tiap malem dia berdoa biar masuk FK Unpad 2011. Doanya makbul. Dia beneran masuk FK, tapinya Fakultas (Ilmu) Komunikasi Unpad 2011 (you see, this guy got such a sense of humor over his life). Tapi kini, ada satu hal yang menyamakan gue dan Sobe.

We moved on.

Memang kadang, rencana kita nggak selalu sesuai sama rencana yang di atas. Perjalanan kita cuma serangkaian titik-titik yang nggak bisa kita prediksi maupun kita kontrol. Kita enggak tahu arahnya kemana.

Saat kita nambah tua, sulit percaya juga bahwa mimpi bisa jadi nyata. Karena dalam 18-17 tahun ke belakang, jarang banget memang yang jadi kenyataan. Daripada mikir bahwa hidup itu perjalanan epik menuju kesuksesan, hidup ternyata enggak lebih dari rangkaian hari ini ke esok, dan esoknya lagi. Kita inget ada hari-hari dimana rasanya boring banget dan pengen ngilang aja, kita inget ada hari-hari dimana rasanya gagal dalam sesuatu itu sama aja kayak mati dan bikin kita berhenti buat nyoba. Ya, kalau mau jujur, ada juga hari-hari dimana kita menang, kita ngerasa content, tapi kita tahu momen itu bakalan berakhir, dan tahu-tahu dramanya udah mulai lagi.

Bisa dibilang, hidup itu bukan sebuah kisah, tapi lebih ke proses ngesot dari hari ke hari karena kita udah kehilangan tenaga buat bangun lagi. Atau mungkin, kita berhenti percaya bahwa kita sebenernya bisa bangun lagi. Dan mulai berjalan. Yang jelas, semua orang tahu sejauh apapun orang bisa jalan, ujung-ujungnya pasti ke pemakaman juga.

Sumpah galau gila.

Well, mungkin, kita mikir hidup itu boring dan galau abis karena kita cuma nunggu. Nunggu ada sesuatu yang rame, seseorang datang dan ngubah hidup kita. Nunggu menang undian, nunggu dapet kekuatan super dan nyelametin dunia. Yang kita enggak sadar, selama kita nunggu, kita kehilangan banyak kesempatan di sekeliling kita.

Kesempatan buat makin akrab sama orang di sekitar, kesempatan buat bertemu orang-orang baru, kesempatan buat jatuh cinta.

Dan siapa tahu, saat kita mau ambil semua kesempatan lagi, dan nyoba buat lihat ke belakang, semua titik itu membentuk garis yang jelas, yang nggak kita sadar, perjalanan kita.

And finally, everything makes sense.

“Sulit buat nyatain hal yang kita suka dari seseorang yang kita benci, karena seringkali saat kita benci seseorang, kita nggak tahu apapun tentangnya”

Hanley Andrean – FMIPA 2011 (@SEF Initiation Program)

Dialog dari Lapangan Sipil

“Saya tahu lah, masalah berkemahasiswaan kalian udah paling jago. Ngomongin nyelamatin dunia lah, membawa harum nama bangsa lah, mengubah negara lah, kalian udah paling bener! Tapi yang saya mau tanya, apa yang akan kalian lakukan kalau ternyata segala usaha kalian untuk mencapai hal itu, harus terkekang birokrasi yang kolot, peraturan yang mengekang, kalian harus berani mempertaruhkan masa depan kalian di tempat ini demi membuat perubahan, melawan ketidakadilan, apa kalian mampu, hah? Untuk beranjak keluar dari tempat yang disebut putra putri terbaik bangsa saat rakyat diinjak semena-mena dan berurai air mata, apa kalian siap? Saya peringatkan, jangan sekali-kali berambisi untuk mengubah bangsa saat di depan Taman Ganesha sana masih ada yang mengais sampah demi sesuap nasi dan kalian masih diam saja! Apa itu artinya menjadi mahasiswa? Apa yang akan kalian lakukan?! Apa, hah?!”

“Maaf, Kang. Mungkin saya cuman bisa ngomong. Saya masih perlu mikir dua kali buat di-DO dari sini demi bangsa dan negara. Namun menurut saya, inti dari pendidikan adalah memanusiakan manusia. Saat institusi yang seharusnya memberi kita pendidikan menghalangi kita untuk mengikuti kemanusiaan kita, tidak seharusnya kita bergantung pada institusi itu lagi. Ada banyak cara untuk membuat dan memulai perubahan, dan pendidikan bukanlah instrumen satu-satunya. Minimal kita masih punya nurani buat membantu sekitar. Saya percaya, kita bisa mulai dari nyisihin apa yang kita punya. Dalam sebulan, lima puluh ribu buat kita mungkin bedanya cuma pindah dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Tapi buat anak-anak di jalanan, mungkin bedanya antara sekolah dan nggak sekolah. Menurut saya, nggak susah buat jadi manusia, namun memang butuh proses, tepat seperti pendidikan, buat berubah dan bikin perubahan.”

“Saya punya waktu dua tahun lagi disini, mari kita lihat perubahan apa yang kamu bisa lakukan. Saya pegang janji kamu.”

“Saya siap, Kang.”

Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Dilarang

Hmm. Istilah ini mungkin udah gak lucu lagi, karena keluarnya pas zaman Pak Harto yang lagi panas-panasnya masalah sensor. Biar relevan, mungkin sekarang istilahnya “Tertawalah Sebelum Tertawa Itu Difatwa”.

*brb dikejar massa*

Beberapa minggu yang lalu, gue nemu kaset Warkop gitu di Pasar Cihapit. Judulnya ‘Dokter Masuk Desa’, rekaman jokes reading-nya mereka zaman Prambors,  tahun 70-an. Gue tahu Warkop itu lucu, banget malah. Tapi ternyata sense of humor mereka di awal karier jauh lebih ‘ngigit’ menurut gue.

Lawakan ginian nih yang bisa buat tuyul solat. Dulu, gue tumbuh dengan menyaksikan lawakan Srimulat tiap Kamis malam di Indosiar. Atau Ngelaba, yang kemudian diganti Cagur, di TPI saban Senin sampe Rabu. Hampir setiap hari, waktu itu, ada aja acara lawak. Katanya sih, sense of humor itu penting bagi ketahanan mental rata-rata penduduk Indonesia yang pejabatnya udah lebih jago ngelawak dibanding pelawaknya sendiri. Masyarakat akhirnya bisa belajar untuk menertawakan nasib dan keadaannya sendiri. Orang bijak bilang, barangsiapa sudah bisa menertawakan nasibnya sendiri, maka kehidupannya akan berlangsung lebih mudah. Dan buat gue yang contoh nyata bertapa fatalnya efek kurang ASI saat kecil, lawakan gini bisa buat gue koma dua minggu karena ketawa.

Setelah rada enek juga disuguhin lawakan yang isinya ngejorokin orang ke styrofoam mulu, kemaren ada yang buat gebrakan dengan masukin format baru: stand-up comedy. Terus terang, ini sebenernya nggak baru disini. Dulu Taufik Savalas pernah ngebawain ini, tapi stand-up beliau jatohnya jadi jokes reading sambil berdiri. Dan terang terus (Phillips kali?), usaha Pandji dan Raditya Dika kali ini cukup berhasil menurut gue.

Ternyata, sekarang jadi jelas alasan kenapa dari dulu stand-up comedy nggak pernah dibawa kesini. Lawakan ada banyak jenisnya, dan jenis ini, butuh toleransi yang cukup gede, khususnya buat orang Indonesia. Terlalu sama gayanya sama Dane Cook atau Chris Rock atau Aziz Ansari kalo lo pernah nonton. Adaptasi sedikit mungkin diperlukan buat masyarakat sini. Tapi seriusan, ini gue rekomendasiin banget kalau pada nyari hiburan baru. Gue bahkan sengaja punya satu folder berjudul ‘Referensi Komedi’ buat nyimpen video ginian, tepat di sebelah folder ‘SNSD’ yang gue buka jauh lebih sering.

Ngebersihin Debu

Dan sarang laba-laba. Dan mayat Pithecantropus erectus. Wuih. Ini blog udah lama banget gak ada yang ngejamah. Ahem.

Anyhoo, ini pukul dua pagi. Gue baru keluar dari warnet depan Pasar Cihaurgeulis. Anginnya kerasa dingin banget. Kayak gini nih udara Bandung tahun 70-an (buset umur lo berapa, Om?). Di jalanan juga masih ada orang beraktivitas.

Ada ibu-ibu yang nyiapin sayuran-sayuran segar buat dijual nanti pagi.

Ada yang bergerombol naik sepeda fixie (atau nonfiksi?).

Ada gerobak nasi goreng jumping di tengah jalan. Hah?

*kucek-kucek mata*

Oh, ternyata beneran ada gerobak nasi goreng ngegelinding gitu karena jalannya nurun, sambil dikejar mamang-mamang dua orang di belakang.

FYI (for your ingus), gue seminggu ini lagi nginep di Muararajeun, tempat percetakan dan desain gitu. Ada proyek cukup gede, dan gue ngarep komisinya buat liburan ini. Lumayan lah. Tapinya, dua bulan ini adalah masa-masanya gue pengen bisa kagebunshin. Ngebelah diri buat ngurusin persiapan matrikulasi. Ngebelah diri buat nyiapin farewell party adik gue yang mau ke Australia selama sebulan. Ngebelah diri buat liburan dan ngerejuvenasi diri.

Tapi gak ada satupun yang sempet.

Seriusan aja, badan gue kayak remuk gini tiap bangun. Tidur sekenanya. Kayaknya kesenggol dikit gue kebawa angin deh. Apa gara-gara pengaruh kopi juga ya? Gue sekarang berhenti minum kopi deh. Gue sekarang nyedot kopi… dari hidung.

Oh, iya. Tadi gue sempet digonggongin anjing pas mau kesini. Untung diiket. Tadinya mau gue laporin aja tuh ke pemiliknya karena peliharaannya kelakuannya anjing banget. Dasar anjing (emang anjing sih).

ADUH ANEH.