Dialog dari Lapangan Sipil

“Saya tahu lah, masalah berkemahasiswaan kalian udah paling jago. Ngomongin nyelamatin dunia lah, membawa harum nama bangsa lah, mengubah negara lah, kalian udah paling bener! Tapi yang saya mau tanya, apa yang akan kalian lakukan kalau ternyata segala usaha kalian untuk mencapai hal itu, harus terkekang birokrasi yang kolot, peraturan yang mengekang, kalian harus berani mempertaruhkan masa depan kalian di tempat ini demi membuat perubahan, melawan ketidakadilan, apa kalian mampu, hah? Untuk beranjak keluar dari tempat yang disebut putra putri terbaik bangsa saat rakyat diinjak semena-mena dan berurai air mata, apa kalian siap? Saya peringatkan, jangan sekali-kali berambisi untuk mengubah bangsa saat di depan Taman Ganesha sana masih ada yang mengais sampah demi sesuap nasi dan kalian masih diam saja! Apa itu artinya menjadi mahasiswa? Apa yang akan kalian lakukan?! Apa, hah?!”

“Maaf, Kang. Mungkin saya cuman bisa ngomong. Saya masih perlu mikir dua kali buat di-DO dari sini demi bangsa dan negara. Namun menurut saya, inti dari pendidikan adalah memanusiakan manusia. Saat institusi yang seharusnya memberi kita pendidikan menghalangi kita untuk mengikuti kemanusiaan kita, tidak seharusnya kita bergantung pada institusi itu lagi. Ada banyak cara untuk membuat dan memulai perubahan, dan pendidikan bukanlah instrumen satu-satunya. Minimal kita masih punya nurani buat membantu sekitar. Saya percaya, kita bisa mulai dari nyisihin apa yang kita punya. Dalam sebulan, lima puluh ribu buat kita mungkin bedanya cuma pindah dari kendaraan pribadi ke angkutan umum. Tapi buat anak-anak di jalanan, mungkin bedanya antara sekolah dan nggak sekolah. Menurut saya, nggak susah buat jadi manusia, namun memang butuh proses, tepat seperti pendidikan, buat berubah dan bikin perubahan.”

“Saya punya waktu dua tahun lagi disini, mari kita lihat perubahan apa yang kamu bisa lakukan. Saya pegang janji kamu.”

“Saya siap, Kang.”